Membesar di dalam sebuah keluarga kecil yang serba kekurangan. Hidupku tidak pernah merasa bagaimana dimanja-manjakan. Bukan dikasari tetapi lebih kepada disuruh berdikari. Jangan pernah salahkan orang tuaku kerana kekerasan itu. Aku bukan disakiti tetapi aku ditempa agar mampu belajar bagaimana bertahan hidup. Aku punya tanggungjawab yang besar tanpa aku sedari. Itulah kenyataan yang perlu aku terima hinggalah ke hari ini.
Zaman kecilku yang dihabisi dengan menyendiri dan menemani orang tuaku ke sana ke mari demi mencari rezeki untuk sesuap nasi. Malamku pula hanya disinari pelita minyak tanah jauh dari kata nak berlilin atau berlampu gasoline. Hidup kami jauh dari kata mewah. Ke sana sini hanya berjalan kaki. Makan pakai kami hanya apa adanya. Baju koyak ditampung sana sini. Nak pakai baju baru jarang sekali.
Hobi orang susah seperti kami hanya mencari sesuatu yang sesuai dengan jiwa keras kami seperti mana kami bertahan hidup. Keluar masuk hutan, buat kerja kasar, berkuli makan gaji kadang diupah setiap hari kadang ditukar dengan pakaian berguni-guni. Tidak berbaloi jika aku ingat keringat yang kami curahkan dari seawal dinihari hingga ke tenggelam mentari dengan hasil yang diberi setelah bekerja keras sehari-hari. Tapi, itulah...Hidup zaman itu tidak mudah. Semuanya kami lakukan demi bertahan diri dan sesuap nasi.
Ada masa kami memberi tanpa henti tetapi tidak banyak hasil yang kami terima melainkan beras secupak dua. Pikul guni bertingkat-tingkat, balik jalan kaki dengan gaji sehari hanya diberi makan tiga kali sehari dan habis kerja pernah orang tuaku cuma bergaji dengan rokok sekotak dua. Perit. Membawa adik yang masih merah di dalam dukungan kain di belakang membuatkan aku selalu mengelap airmata tanpa suara. Betapa luluhnya hati kecilku ketika itu melihat kerasnya hidup ini menindas kami yang dalam kemiskinan. Memang maruah diri seperti dinjak-injak. Kami tidak ada pilihan. Hanya itu yang kami mampu lakukan. Cemuhan? Rasanya hidup orang di zaman itu hampir semua sama. Jika beruntung pun sangat sedikit. Kami semua simpan rasa malu. Kami cuma tahu bagaimana untuk bertahan dan meneruskan hidup. Soal malu kami ketepikan.
Berpuluh tahun berlalu kenangan itu masih segar diingatanku. Bukan untuk aku sesali atau ratapi di atas ketidak adilan. Tetapi sesuatu yang perlu aku kenang agar aku tahu erti sebuah harga diri setelah aku berjaya menjadi MANUSIA di kemudian hari. Hidup ini seperti berada di dunia persilatan. Kita perlu belajar bersedia, bertahan, membuat strategi kemudian bertarung. Jika salah langkah maknanya kalah. Jika betul percaturan maknanya kita menang. Ya begitulah kehidupan. Sesuatu yang pahit memang manis untuk dikenang. Ia telah banyak mengajar aku tentang dunia dan isinya.
Terima kasih kerasnya kehidupan. Terima kasih kepada pengalaman. Terima kasih kepada Tuhan. Pelajaran yang tidak pernah akan aku lupakan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan